Sabtu, 24 Oktober 2009

HIKMAH PUASA SEBAGAI PEMBENTUK SOSIAL

Puasa merupakan ibadah yang bersifat privat (pribadi), semata-mata hubungan kita sebagai hamba terhadap Alla SWT. Hal ini berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, dimana keterlibatan dan pengetahuan orang lain begitu nyata dan jelas. Dalam shalat misalnya, orang bias melihat bagaimana kita shalat. Demikian halnya dengan ibadah haji atau zakat. Hal ini berbeda dengan ibadah puasa. Kalau kita pura-pura berpuasa, mungkin orang lain tidak tahu. Akan tetapi, yakinlah bahwa Tuhan sebenarnya Maha Tahu.

Meskipun puasa bersifat sangat pribadi, tetapi di dalamnya mengandung ajaran-ajaran social yang penting untuk kita transformasikan dalam kehidupan riil di masyarakat. Dalam puasa misalnya, terdapat ritual dan motivasi simbolik yang mengantarkan seseorang menjadi seimbang dalam kesalehan individu yang sifatnya ritualistic dan kesalehan social yang bernuansa sosiologis. Dalam puasa, kita dijanjikan Tuhan dengan berbagai macam pahala yang berlipat ganda apabila kita melakukan ritual-ritual tertentu. Hal ini salah satu bentuk untuk meningkatkan kesalehan yang bersifat pribadi. Namun dipihak lain, Allah jura menyuruh kita untuk memberi sedekah, menolong orang yang kekurangan, memberi makan orang yang akan berbuka puasa, dan lain sebagainya.

Hal demikian sesungguhnya merupakan perintah yang bersifat simbolik agar kita lebih memperhatikan hal-hal yang bersifat sosial. Oleh karena itu, kata iman dalam Alqur’an selalu disandingkan dengan kata ‘amalun shalihun (amal saleh).

Orang yang beribadah biasa-biasa saja tetapi ia aktif dalam berbagai aktifitas sosial, dan memiliki kepedulian yang tinggi dengan situasi yang terjadi disekitarnya, sering kali masih dianggap orang yang tingkat religiusnya rendah. Hal yang lebih naïf lagi, kedua dimensi (kesalehan sosial dan kesalehan ritual) sering kali dianggap tidak memiliki hubungan apa-apa. Karena itu, orang rajin ibadah, yang setiap tahun mengerjakan ibadah haji, namun mereka tidak mempunyai kepedulian terhadap persoalan yang terjadi di sekitarnya.

Selama ini yang kita kenal sebagai pahala dan dosa selalu dimaknai secara abstrak, semata-mata urusan kita di akhirat kelak. Pahala yang dimaknai seolah-olah sebagai tabungan kebaikan untuk di akhirat, sebenarnya harus diorientasikan pada pengertian yang bersifat sosiologis. Dalam hukum sosial misalnya, kita harus berjalan melalui jalur sebelah kiri. Kalau kita berjalan disebelah kanan, meskipun secara teologis tidak dosa tetapi secara sosial dia sesungguhya berdosa. Dosanya seperti apa? Bisa terjadi kecelakaan misalnya.

Pahala bisa berarti sesuatu yang mendorong terjadinya keserasian dan keseimbangan sosial. Karena itu, puasa yang didalamnya terdapat larangan untuk tidak makan dan minum di siang hari, juga bisa dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat simbolik. Larangan makan dan minum di siang hari adalah symbol untuk menjauhi ketamakan dan kerakusan. Puasa kemudian menjadi sarana untuk melatih diri untuk tidak rakus dan tamak terhadap apa yang bukan hak kita. Disamping itu, puasa juga mendidik kita untuk lebih peduli dengan apa yang terjadi disekitar kita. Jika kita melakukan puasa Ramadhan ditambah puasa sunah lainnya, rajin melakukan shalat malam, tetapi kita tidak punya kepedulian terhadap apa yang terjadi di sekitar kita, sesungguhnya ibadah ritual tadi tidak bermakna apa-apa. Karena, dari ibadah ritual itu sesungguhnya diharapkan ada dampak nyata pada perilaku sosial sehari-hari.

Kalau kita memaknai puasa dari perspektif perdamaian, maka jelas sekali keterkaitannya. Di dalam Alqur’an, surah Al-Baqarah ayat 183 disebutkan ‘kutiba alaikum al-shiyam kama kutiba ala al-ladzina min qablikum la’allakum tattaqun’. Kata ‘al-shiyam’ ini makna dasarnya adalah menahan diri, menahan diri dari peperangan, pertikaian, permusuhan. Dari sudut pandang ilmu Fikih, shiyam diartikan sebagai menahan diri dari makan, minum dan berhubungan seksual.

Tujuan dari puasa adalah ‘la’allakum tattaqun’, kita diharapkan menjadi orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa bukan berarti hanya bertaqwa secara vertical kepada Allah saja, tetapi juga secara horizontal, yaitu menebarkan perdamaian di muka bumi. Puasa atau alat untuk mencapai perdamaian dan ini adalah dasar dari Islam itu sendiri, yang berarti ‘al-salamí atau kedamaian.

Terkadang kita lupa, kita memiliki banyak kepentingan yang kerapkali menjadikan kita tamak, membuat kita ingin menyingkirkan orang lain. Puasa sebenarnya adalah latihan pengendalian diri, latihan jiwa untuk tidak melakukan perbuatan kemaksiatan yang diantaranya adalah konflik itu sendiri. Rasul sudah mengingatkan , kalau kita dipaksa orang lain untuk berselisih pendapat yang menimbulkan tindakan kekerasan, maka katakana : “saya sedang puasa”, artinya jangan ganggu saya, saya sedang menaruh jiwa saya kepada Allah. Itu mengapa kita diajak oleh Rasul untuk menjalankan ibadah puasa, yaitu untuk menebarkan perdamaian di muka bumi.

Banyak sekali orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa, hanya sekedar lapar dan dahaga. Dalam berpuasa, terkadang ia menghujat orang lain, dan tenggelam dalam perselisihan, yang sebenarnya tidak perlu dilakukan.

****

0 komentar:

About This Blog

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP